'/> Surat Untuk Bonek

Info Populer 2022

Surat Untuk Bonek

Surat Untuk Bonek
Surat Untuk Bonek
Saya tahu, hari ini kalian tengah marah, kecewa. Lima orang dari kalian meninggal dunia, sebagian besar berusia belasan tahun, dan belasan lainnya mengalami luka-luka, ketika melintasi Lamongan. (Saya menerima kabar, jumlah korban ini masih sanggup bertambah, dan semoga kabar itu salah).

Kalian mungkin marah, alasannya merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru sesudah media massa memdiberitakan sebuah proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.

Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh abdnegara keamanan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melaksanakan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian sebagai kriminal. Saat kalian melaksanakan tindakan terpuji, tak ada yang peduli.

Kalian berteriak kepada dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, selalu ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami dihentikan menerima perlakuan yang adil?'

'Di Jember, ada seorang mitra kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, hanya alasannya tidak membayar tiket alasannya kehadapat n uang. Sementara, penumpang lain yang tidak punya tiket pula sanggup bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau hanya diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'

Kalian berteriak kepada dunia: 'Kenapa media massa ludang keringh suka memdiberitakan sebagian dari kami melaksanakan kejahatan, daripada bercerita perihal ribuan dari kami sanggup berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menghilangkan dendam lama? Apakah sebuah tenang tak lagi menarik di tengah Indonesia yang karut-marut alasannya omong kosong politik?'

Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang mitra saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menimbulkan lagu 'Iwak Peyek' versi stadion sebagai nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.

Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja akal-akalan tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kalangan bawah. Mereka yang dari kalangan bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pengusaha kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.

Ada Bonek yang dari kalangan bawah rela menjual barang milik mereka hanya untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di sebuah program di TV One.

Subkultur kekerasan bukanlah khusus milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang memakan banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.

Kudang keringasaan bangkit di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laris khas kalian. Di Jakarta, setiap hari ketika jam kerja, selalu ada orang-orang yang menentukan berada di atap gerbong kereta api daripada berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.

Berebut untuk menerima barang gratis dan murah tak selamanya sanggup dilekatkan sebagai sikap khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan hingga pingsan dan berkelahi, hanya untuk memperoleh Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk menerima Bantuan Langsung Tunai, dan sesudah itu pergi ke pasar membeli baju atau barang konsumtif, daripada menyimpannya untuk hal lain yang ludang keringh berguna.

Pada akhirnya, Bondo Nekat yakni sebuah semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, beberapa kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya perihal Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.

Seseorang tak sanggup diadili hanya alasannya semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang seharusnya diadili alasannya apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.

Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir uang negara. Namun kita tak sanggup mengadili seseorang hanya alasannya ia kelompok suporter A, B, atau C; atau hanya alasannya ia mempunyai keyakinan X, Y, atau Z.

Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada jadinya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima saudara kami telah mati. Kami akan menuntut balas'.

Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak praktis memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang layak memdiberi pesan yang tersirat itu, tentu saja. Tapi sebagai orang biasa, warga negara Indonesia, saya tentu boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.

Pembalasan dendam hanya akan memunculkan korban gres sia-sia dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, terutama yang tinggal di Surabaya, bukanlah musuh kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan murka dengan simpulan hidup sia-sia itu. Pada dasarnya, simpulan hidup belum dewasa berusia belasan tahun tersebut yakni sedih kemanusiaan, yang menyentuh hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.

Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mtangguha Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tapi hari ini kita tiruana tahu, kalian sanggup dekat dengan suporter Jogjakarta.

Saya percaya, suatu ketika kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, alasannya bencana atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya selalu percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan selalu mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.

Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: simpulan hidup bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian tentu tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.

Kalian mungkin marah, alasannya ketika sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melaksanakan kejahatan, abdnegara keamanan bertindak tangkas membekuknya.

Kalian kemudian bertanya: ke mana abdnegara keamanan berjaga, ketika lima dari kalian mati dalam sebuah perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan insiden ini belakang layar tanpa pengusutan.

Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang menciptakan dunia dihargai: ia ada alasannya ikhtiar bersama. Ia ada alasannya kita selalu sanggup memperbaiki asa.

Seperti sebuah akhir kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di sebuah tempat, ribuan mil dari kota kalian.

Saya percaya, kalian selalu berusaha ludang keringh baik, walau pun tak banyak yang mau mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, alasannya justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, alasannya yang tepat hanya ada di Atas Sana.

Jika suatu ketika kalian lelah dan tak mempercayai apapun lagi, maka ingatlah sebatang pohon mundu di sebuah rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bersama oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, alasannya di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.

Penulis : Oryza A. Wirawan
Sumber : http://diberitajatim.com/sorotan.php?newsid=1115

Terima kasih Cak Oryza, Bonek besar bukan alasannya media, tapi media besar alasannya Bonek. Semoga kedepannya, adik-adik saya, para penerus generasi Bonek sanggup menjadi penulis-penulis yang andal menyerupai Cak Oryza.

SALAM 1 NYALI, WANI!!!
Advertisement

Iklan Sidebar